Sedekah Waduk Malahayu Kecamatan
Banjarharjo, Kab. Brebes
Waduk
Malahayu terletak di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah. Waduk ini terletak kurang lebih 6 km dari Banjarharjo atau 17 km
dari Tanjung. Luas kawasan ini sekitar 944 hektare dan dibangun pada tahun 1930
oleh Kolonial Belanda. Fungsi waduk Malahayu disamping sebagai sarana irigasi
lahan pertanian wilayah Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, Losari,
Tanjung dan Bulakamba, juga sebagai pengontrol banjir serta dimanfaatkan untuk
rekreasi. Malahayu merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Brebes. Di
objek wisata ini, dapat ditemukan panorama alam pegunungan yang indah,
dikelilingi hutan jati yang luas dan telah dijadikan bumi perkemahan dan wana
wisata. Berbagai fasilitas tersedia di kompleks wisata ini. Antara lain kolam
renang, mainan anak, becak air, perahu pesiar, perahu dayung, panggung terbuka
serta disediakan tempat parkir yang cukup luas. Selain sebagai tempat wisata,
malahayu memiliki suatu tradisi yang unik dan menarik, yakni sedekah waduk yang
dilakukan setiap 1 suro atau bertepatan dengan tahun baru kalender jawa. Tradisi
ini dimaksudkan untuk memperingati pergantian tahun dan sebagai perwujudan rasa
syukur oleh pendudukt terhadap sang pencipta atas keberadaan waduk yang sudah
banyak memberikan manfaat dalam keberlangsungan hidupnya. Tradisi ini diawali
dengan Kirab Seni budaya kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan tumpeng.
Kirab seni budaya merupakan tradisi yang dilakukan sebelum melakukan
penghanyutan sesaji ke waduk. Tradisi ini berupa ring-iringan orang yang
membawa tumpeng serta hasil bumi lainya serta menggenakan pakaian khas jawa,
dan dibarengi dengan alunan gamelan dan tari-tarian jawa yang dilakukan oleh
penduduk desa dan kepala desa serta tokoh masyarakat lainya yang berperan dalam
penghanyutan sesaji. Iring-iringan ini, berlangsung dari awal gerbang jalan
menuju waduk, sampai tepi waduk. Setelah iring-iringan ini berakhir sampai di
tepi waduk, dilanjutkanlah acara berikutnya yakni penghanyutan sesaji sebagai
sedekah untuk waduk. Sesaji yang mereka bawa dihayutkan ke bagian tengah waduk
dengan menggunakan perahu compreng oleh para penduduk. Adapun sesaji yang
dihayutkan berupa kepala kerbau, hasil bumi seperti sayur mayur, dan
bauh-buahan serta macam-macam ikan hasil tangkapan para nelayan di waduk. Berdasarkan
hasil pengamatan yang dilakukan, antusias warga penduduk asli maupun luar
daerah malahayu terhadap tradisi suroan ini sangat tinggi. Hal ini diwujudkan
dengan banyaknya rumah-rumah penduduk sekitar waduk maupun yang kosong terkunci dan jalanan yang sepi
dan lengang serta beberapa parkiran yang dipenuhi kendaraan roda dua maupun
roda empat yang merupakan kendaraan para pengunjung luar daerah Malahayu yang
ingin melihat acara suroan ini. Apalagi tradisi sedekah waduk ini bertepatan
dengan tanggal merah, tentunya ini semakin menambah ramainya pengunjung yang
memadati Waduk Malahayu ini. Setelah penghayutan sesaji, acara selanjutnya
adalah memakan tumpeng bersama sama. Tradisi ini memiliki makna, bahwasanya
dalam menjalani hidup, para warga senantiasa saling tolong menolong dan
senantiasa memberikan bantuan kepada warga lain yang memutuhkan. Biasanya,
tumpeng yang sengaja dibuat besar ini dipotong, lalu di bagi-bagikan kepada
para warga dan orang-orang pengunjung yang datang pada perayaan sedekah waduk
tersebut. semua orang mendapatkan bagian yang sama dan rata. Anehnya, meskipun
pengunjung yang berdatangan banyak, tumpeng yang dibagikan cukup untuk semua
orang yang datang pada perayaan itu.
Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan para penduduk, bahwasanya tumpeng yang disediakan memiliki kekuatan magis yang bisa memenuhi jumlah banyak orang yang datang dalam perayaan sedekah waduk tersebut. mitos merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang berkembang di masyarakat Malahayu yang tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Beberapa mitos yang hidup di sekitar waduk ini adalah bahwa pasangan pengantin baru wajib membasuh muka dengan air waduk. Konon, pasangan yang melaksanakan hal itu akan langgeng dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Karena itu, hampir setiap ada pengantin baru entah itu penduduk asli malahayu ataupun luar daerah yang percaya terhadap mitos tersebut, mereka selalu menyempatkan diri berkunjung ke waduk malahayu untuk membasuh muka sembari untuk berlibur menikmati sejuknya udara pegunungan. Yang unik, mereka kadang-kadang datang masih menggenakan pakaian pengantin, dengan diiringi puluhan bahkan ratusan pengiring. Hal ini diyakini dan dilaksanakan selain dipercaya mengandung berkah kelanggengan bagi pasanganitu, juga sebagai upaya tolak bala. Setelah tradisi sedekah waduk selesai acara selanjutnya yang biasa digelar oleh para warga adalah pertunjukan seni dan lomba-lomba guna memeriahkan perayaan 1 suro. Pertunjukan ini berupa ketoprak, tari-tarian jawa, nyinden, serta festival lomba antara lain lomba menyanyi, lomba menari dan lomba balap karung, balap perahu dan lomba memancing. Adanya sedekah waduk yang terus menerus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk sekitar, membuat silaturahmi dan rasa toleransi di antara warga terjalin dengan baik. Bahkan, adanya perubahan dan pengaruh budaya luar yang masuk tidak membuat tradisi yang dijalankan setiap 1 suro ini ditinggalkan.
Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan para penduduk, bahwasanya tumpeng yang disediakan memiliki kekuatan magis yang bisa memenuhi jumlah banyak orang yang datang dalam perayaan sedekah waduk tersebut. mitos merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang berkembang di masyarakat Malahayu yang tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Beberapa mitos yang hidup di sekitar waduk ini adalah bahwa pasangan pengantin baru wajib membasuh muka dengan air waduk. Konon, pasangan yang melaksanakan hal itu akan langgeng dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Karena itu, hampir setiap ada pengantin baru entah itu penduduk asli malahayu ataupun luar daerah yang percaya terhadap mitos tersebut, mereka selalu menyempatkan diri berkunjung ke waduk malahayu untuk membasuh muka sembari untuk berlibur menikmati sejuknya udara pegunungan. Yang unik, mereka kadang-kadang datang masih menggenakan pakaian pengantin, dengan diiringi puluhan bahkan ratusan pengiring. Hal ini diyakini dan dilaksanakan selain dipercaya mengandung berkah kelanggengan bagi pasanganitu, juga sebagai upaya tolak bala. Setelah tradisi sedekah waduk selesai acara selanjutnya yang biasa digelar oleh para warga adalah pertunjukan seni dan lomba-lomba guna memeriahkan perayaan 1 suro. Pertunjukan ini berupa ketoprak, tari-tarian jawa, nyinden, serta festival lomba antara lain lomba menyanyi, lomba menari dan lomba balap karung, balap perahu dan lomba memancing. Adanya sedekah waduk yang terus menerus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk sekitar, membuat silaturahmi dan rasa toleransi di antara warga terjalin dengan baik. Bahkan, adanya perubahan dan pengaruh budaya luar yang masuk tidak membuat tradisi yang dijalankan setiap 1 suro ini ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar