Kamis, 03 Juli 2014

Sedekah Waduk Malahayu Kecamatan Banjarharjo, Kab. Brebes

Sedekah Waduk Malahayu Kecamatan Banjarharjo, Kab. Brebes


Waduk Malahayu terletak di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Waduk ini terletak kurang lebih 6 km dari Banjarharjo atau 17 km dari Tanjung. Luas kawasan ini sekitar 944 hektare dan dibangun pada tahun 1930 oleh Kolonial Belanda. Fungsi waduk Malahayu disamping sebagai sarana irigasi lahan pertanian wilayah Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, Losari, Tanjung dan Bulakamba, juga sebagai pengontrol banjir serta dimanfaatkan untuk rekreasi. Malahayu merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Brebes. Di objek wisata ini, dapat ditemukan panorama alam pegunungan yang indah, dikelilingi hutan jati yang luas dan telah dijadikan bumi perkemahan dan wana wisata. Berbagai fasilitas tersedia di kompleks wisata ini. Antara lain kolam renang, mainan anak, becak air, perahu pesiar, perahu dayung, panggung terbuka serta disediakan tempat parkir yang cukup luas. Selain sebagai tempat wisata, malahayu memiliki suatu tradisi yang unik dan menarik, yakni sedekah waduk yang dilakukan setiap 1 suro atau bertepatan dengan tahun baru kalender jawa. Tradisi ini dimaksudkan untuk memperingati pergantian tahun dan sebagai perwujudan rasa syukur oleh pendudukt terhadap sang pencipta atas keberadaan waduk yang sudah banyak memberikan manfaat dalam keberlangsungan hidupnya. Tradisi ini diawali dengan Kirab Seni budaya kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan tumpeng. Kirab seni budaya merupakan tradisi yang dilakukan sebelum melakukan penghanyutan sesaji ke waduk. Tradisi ini berupa ring-iringan orang yang membawa tumpeng serta hasil bumi lainya serta menggenakan pakaian khas jawa, dan dibarengi dengan alunan gamelan dan tari-tarian jawa yang dilakukan oleh penduduk desa dan kepala desa serta tokoh masyarakat lainya yang berperan dalam penghanyutan sesaji. Iring-iringan ini, berlangsung dari awal gerbang jalan menuju waduk, sampai tepi waduk. Setelah iring-iringan ini berakhir sampai di tepi waduk, dilanjutkanlah acara berikutnya yakni penghanyutan sesaji sebagai sedekah untuk waduk. Sesaji yang mereka bawa dihayutkan ke bagian tengah waduk dengan menggunakan perahu compreng oleh para penduduk. Adapun sesaji yang dihayutkan berupa kepala kerbau, hasil bumi seperti sayur mayur, dan bauh-buahan serta macam-macam ikan hasil tangkapan para nelayan di waduk. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, antusias warga penduduk asli maupun luar daerah malahayu terhadap tradisi suroan ini sangat tinggi. Hal ini diwujudkan dengan banyaknya rumah-rumah penduduk sekitar waduk maupun  yang kosong terkunci dan jalanan yang sepi dan lengang serta beberapa parkiran yang dipenuhi kendaraan roda dua maupun roda empat yang merupakan kendaraan para pengunjung luar daerah Malahayu yang ingin melihat acara suroan ini. Apalagi tradisi sedekah waduk ini bertepatan dengan tanggal merah, tentunya ini semakin menambah ramainya pengunjung yang memadati Waduk Malahayu ini. Setelah penghayutan sesaji, acara selanjutnya adalah memakan tumpeng bersama sama. Tradisi ini memiliki makna, bahwasanya dalam menjalani hidup, para warga senantiasa saling tolong menolong dan senantiasa memberikan bantuan kepada warga lain yang memutuhkan. Biasanya, tumpeng yang sengaja dibuat besar ini dipotong, lalu di bagi-bagikan kepada para warga dan orang-orang pengunjung yang datang pada perayaan sedekah waduk tersebut. semua orang mendapatkan bagian yang sama dan rata. Anehnya, meskipun pengunjung yang berdatangan banyak, tumpeng yang dibagikan cukup untuk semua orang yang datang pada perayaan itu.    
             Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan para penduduk, bahwasanya tumpeng yang disediakan memiliki kekuatan magis yang bisa memenuhi jumlah banyak orang yang datang dalam perayaan sedekah waduk tersebut. mitos merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang berkembang di masyarakat Malahayu yang tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Beberapa mitos yang hidup di sekitar waduk ini adalah bahwa pasangan pengantin baru wajib membasuh muka dengan air waduk. Konon, pasangan yang melaksanakan hal itu akan langgeng dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Karena itu, hampir setiap ada pengantin baru entah itu penduduk asli malahayu ataupun luar daerah yang percaya terhadap mitos tersebut, mereka selalu menyempatkan diri berkunjung ke waduk malahayu untuk membasuh muka sembari untuk berlibur menikmati sejuknya udara pegunungan. Yang unik, mereka kadang-kadang datang masih menggenakan pakaian pengantin, dengan diiringi puluhan bahkan ratusan pengiring. Hal ini diyakini dan dilaksanakan selain dipercaya mengandung berkah kelanggengan bagi pasanganitu, juga sebagai upaya tolak bala. Setelah tradisi sedekah waduk selesai acara selanjutnya yang biasa digelar oleh para warga adalah pertunjukan seni dan lomba-lomba guna memeriahkan perayaan 1 suro. Pertunjukan ini berupa ketoprak, tari-tarian jawa, nyinden, serta festival lomba antara lain lomba menyanyi, lomba menari dan lomba balap karung, balap perahu dan lomba memancing. Adanya sedekah waduk yang terus menerus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk sekitar, membuat silaturahmi dan rasa toleransi di antara warga terjalin dengan baik. Bahkan, adanya perubahan dan pengaruh budaya luar yang masuk tidak membuat tradisi yang dijalankan setiap 1 suro ini ditinggalkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar