Hubungan Antara Orang
Eropa dan Pribumi dalam Bentuk Misi Penyebaran Ajaran Kristen Pada Struktur
Masyarakat Jawa Kolonial
Masih banyak orang menganggap bahwa kedatangan kolonial Barat (Portugis dan Belanda) ke Tanah Jawa karena motif ekonomi semata. Mereka datang untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini. Motif agama sering dilupakan. Padahal, sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara kolonialisme dan Kristenisasi. Masuk dan menyebarnya agama Kristen (Katolik maupun Protestan) di Indonesia terjadi serentak dengan masuknya kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen.
Di dalam Encyclopædie
van Nederlandsch-Indië, Jilid IV, tentang Zending, hlm. 829 disebutkan,
“Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini (Nusantara),
orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang Portugis. Di mana pun dia
tinggal dan didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu
tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia
berusaha menanam Kristen di tengah-tengah mereka.”
Jadi, selain mengeksploitasi kekayaan alam, kolonialisme Barat juga
berusaha menghancurkan Islam yang dipeluk oleh pribumi. Pribumi yang masuk
Kristen tentu lebih setia kepada pemerintah kolonial, yang sama-sama beragama
Kristen, dibanding pribumi yang beragama Islam. Tulisan singkat berikut akan
memaparkan hubungan erat kolonialisme dan misi Kristen dalam sejarah Indonesia.
Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke
beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik, pada masa
sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen Nestorian dari Mesir
dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di Indonesia dalam perjalanan
mereka ke Tiongkok pada abad V. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang
timbulnya Kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka
waktu yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan
bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan Kristen
Nestorian itu.
Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar
dengan kedatangan bangsa Barat ke Nusantara. Portugis datang dengan semangat
Perang Salib dan memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh
yang harus diperangi. Dalam
ekspansinya, Portugis juga mendapatkan mandat dari Paus untuk menyebarkan agama
Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Ketika Paus Alexander VI pada 4 Mei
1493 membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol, salah satu syaratnya
adalah raja atau negara harus memajukan misi Katolik Romawi di daerah-daerah
yang telah diserahkan kepada mereka itu. Maka dari itu, kedatangan Portugis ke
Nusantara –yang waktu itu penduduknya telah banyak yang masuk Islam– tersebut dengan
diikuti oleh sejumlah pendeta dan misionaris. Seorang misionaris, Franciscus
Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku berhasil membaptis
beribu-ribu orang. Selain Maluku, misi Katolik juga segera menyebar di
daerah-daerah yang ditaklukkan Portugis, seperti Sulawesi Utara dan Nusa
Tenggara Timur.
Sejak 1600, Belanda dan Inggris berhasil merebut kuasa di laut dari
Portugis dan Spanyol. Dua tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk
mencegah persaingan antarkelompok dagang Belanda. Selain mengejar keuntungan
ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari
Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk), yang waktu itu
berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan
isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi,
"Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi:
mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh
penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus, dan
berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang."
Seperti halnya Portugis, kedatangan VOC ke Nusantara juga disertai oleh
pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja
menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan Belanda di
pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga mengusahakan
pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka. Yang dimaksud dengan
orang kafir di sini tentu saja semua orang di luar penganut Kristen Protestan,
termasuk orang Islam.
Akan tetapi, selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di Nusantara,
pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil minim. VOC hanya
memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol, seperti
Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas pada melayani
orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk Kristen. Orang-orang
Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk berpindah ke Protestan aliran
Calvinisme. VOC lebih memedulikan keamanan keuntungan komersial yang diraih
daripada mengonversikan orang-orang Indonesia. Upaya-upaya konversi terhadap
pribumi, terutama di Jawa, dihindari karena mereka takut akan pengaruh
negatifnya terhadap perolehan keuntungan ekonomi.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak
memberikan dukungan terhadap upaya penyebaran Kristen, baik berupa kebijakan
politik maupun finansial. Seringkali
pemerintah Hindia Belanda menyatakan bersikap netral terhadap agama. Akan
tetapi dalam kenyataannya, pernyataan ini berbeda antara teori dan praktek.
Dalam hubungan antara Islam dan Kristen, pemerintah melakukan diskriminasi
terhadap pihak Islam. Para fungsionaris agama Islam diperintahkan dengan tegas
agar mereka tidak boleh campur tangan dalam hal politik. Para haji diamati
dengan saksama, dan beberapa guru tarekat diasingkan hanya karena alasan
sederhana, semisal terlalu berhasil dan mengumpulkan terlalu banyak murid dan
pengikut. Para pejabat agama Protestan dan Katolik Eropa mendapat gaji lumayan
besar (f 600-800 per bulan, kontras dengan f 100-150 untuk seorang penghulu
atau kepala masjid kabupaten). Pemerintah kolonial membayar banyak ongkos
perjalanan, termasuk tiket kapal kelas satu dari Eropa ke Indonesia. Di samping
itu, banyak pembayaran insidental untuk agama Kristen dibebankan pada anggaran
kolonial, khususnya biaya pembangunan gereja-gereja. Pada tahun 1919, di
Pulau Jawa terdapat 331 sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial.
Dari jumlah itu, 155 adalah sekolah Kristen, sisanya sekolah Jawa maupun
priyayi, baru kemudian sekolah Islam, seperti sekolah yang didirikan oleh
Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Kolonialisme dan misi Penyebaran
agama Kristen pada struktur Masyarakat Jawa mempunyai hubungan erat. Agama
Kristen datang dan menyebar di negeri ini seiring dengan datang dan menyebarnya
kolonialisme Barat. Dukungan pemerintah kolonial terhadap misi Kristen juga
merupakan fakta keras (hard fact) yang tak terbantahkan. Kalaupun dalam
beberapa kasus pemerintah membatasi dan melarang kegiatan misi, hal itu bukan
berarti mereka memusuhi cita-cita agama Kristen. Pemerintah melakukan itu untuk
mengatur serta menjaga keamanan dan ketertiban. Akhirnya, sebagaimana dikatakan
oleh Sartono Kartodirdjo , opini lama yang berpendapat bahwa “conquistadores” Spanyol datang ke Benua Baru demi
Kejayaan, Kebesaran Tuhan, dan Emas (Glory, God and Gold) itu
memang benar-benar berlaku bagi imperialisme Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar